Hukum pajak Indonesia,
bagaimana menurut Anda? Dalam pemikiran masyarakat, tentu “Hukum tak boleh
diberlakukan secara kaku”, tujuan hukum adalah menciptakan keadilan, bukan
keadilan yang menciptakan hukum. Hukum terasa adil bila menyentuh objek secara
kasuistis. Itu alasannya setiap kasus pidana, dan lain-lain diperiksa secara
terpisah dan tak pernah diputus secara massal meskipun objek sengketanya adalah
sama.
Terlepas
dari semua itu, kebenaran tentu sebagai factor utama disamping keadilan. Sebab
hukum yang adil adalah hukum yang disusun, dilaksanakan, dievaluasi, diperiksa,
dan diputus secara “benar” menurut etika hukum yang telah disepakati bersama.
Lalu, kebenaran yang seperti apa untuk dianut dalam memberikan pencerahan dalam
kekalaman hukum di Indonesia?
I.
Kebenaran factual atau kebenaran
berdasar pengalaman riil (tertuang dalam pasal UU, yaitu saksi, adalah orang
yang melihat, mendengar dan atau mengalami sendiri sebuah peristiwa yang dimintakan
keterangan kepadanya)
II.
Kebenaran epistemology, adalah
kebenaran berdasar ilmu pengetahuan (logika telah termasuk di dalamnya)
III.
Kebenaran semantic, atau
kebenaran bahasa (terurai secara gramatikal perundangan, tak boleh ditafsir
selain pelaksana hukum yang diperbolehkan UU, “misal Hakim yang memiliki hak
veto menganalisa perkara”) dan dialektika
pembahasan hukum yang tertuang dalam kode etik dan prinsip kerja
aparatur Negara.
Seperti
itulah diskursus makna kebenaran dalam hukum, ameliorasi dalam makna kebenaran
yang harus terbatas sehingga tidak menimbulkan multi tafsir yang ambigu. Adil
yang merupakan perasaan hukum, dan juga kebenaran yang mampu mengikat jiwa hukum. Harus
sejajar. Mengapa? Sebab keduanya mampu dirasiokan kembali dalam factual ontological,
epistemological, dan semantikal. Adil, dan benar, keduanya adalah fairness yang
dielaborasi oleh teori keadilan Rawls.
Selanjutnya,
bagaimana konsep penerapan Hukum Pajak di Indonesia? Sudah adilkah? Sudah
benarkah? Sehingga sama bentuknya dengan pemahaman filsafat, “menyentuh yang
ada dan nyata”. Sehingga, keadilan secara tepat tanpa kurang satu gram jika
ditimbang di neraca hukum?
Dalam
teori demokrasi delibertif menyatakan, bahwa penyusunan suatu hukum atau
peraturan yang demokratis menjamin semua kepentingan masyarakat, bila dalam
penyusunannya membuka akses dan membuka
komunikasi dengan semua masyarakat. Teori ini digunakan untuk menganalisis permasalahan yang berkaitan
dengan materi perundang-undangan perpajakan khususnya yang berkaitan dengan
penyelesaian sengketa pajak. Pajak meskipun dijadikan sebagai sumber penerimaan
utama negara tetapi dalam pemungutannya tidak boleh sewenang-wenang dan
mengorbankan kepentingan yang lain.
Suatu hukum atau peraturan
perundangan yang baik adalah adil dan benar,
berkaitan dengan hal ini peraturan yang mendasari pemungutan pajak hendaknya
harus sesuai dengan syarat-syarat keadilan.Keadilan dalam kebijakan perpajakan
dapat dilihat dari : pertama, keadilan dalam hubungan antara pemerintah
dan wajib pajak, kedua, keadilan dari alokasi beban pajak pada berbagai
golongan masyarakat.
Berdasarkan teori Kedaulatan Hukum dari Krabbe dalam bukunya “Die
Lehre der Rechtssouveranitat”, pada intinya teori ini berpendapat bahwa
ditaatinya hukum bukan karena negara menghendakinya tetapi karena merupakan
perumusan kesadaran. Sanksi bukanlah satu-satunya cara
untuk menciptakan agar suatu peraturan dapat ditaati, tetapi bagaimana
menumbuhkan kesadaran hukum merupakan hal yang sangat penting.
Indonesia
sebagai Negara hukum modern yang menganut konsepsi Negara kesejahteraan (welvaarstaat), mempunyai tujuan menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera
dengan adanya jaminan perlindungan hukum dari pemerintah. Secara historis,
konsepsi welvaarstaat ada setelah adanya pergeseran dari konsepsi nachtwakerstaat ke konsepsi welvaarstaat. Pada
konsepsi nachtwakerstaat, tugas pokok pemerintah adalah menjamin dan melindungi
kedudukan ekonomis dari mereka yang menguasai alat-alat pemerintah serta
berfungsi sebagai penjaga ketertiban dan keamanan masyarakat belaka. Sementara
pada konsepsi welvarstaat, pemerintah diberi kewajiban untuk mewujudkan
kesejahteraan umum (bestuurzorg),
untuk itu kepada pemerintah
diberikan kewenangan untuk ikut campur tangan dalam segala lapangan kehidupan
masyarakat.
Atas dasar pergeseran tersebut,
maka sejak saat itu menimbulkan semakin besarnya campur tangan pemerintah
(penguasa) di dalam setiap sektor kehidupan masyarakat, termasuk campur tangan
dalam bidang sosial-ekonomi. Sjachran Basah mengkaitkan campur tangan
pemerintah ini sebagai bagian dari tugas pemerintah sebagai pelayan masyarakat
(public service), yaitu tugas pemerintah tidak semata-mata hanya
dibidang pemerintahan saja, melainkan juga melaksanakan kesejahtraan sosial
dalam rangka mencapai tujuan negara yang dijalankan melalui pembangunan
nasional.
Untuk menjalankan tugasnya sebagai
public service, oleh administrator Negara selain bertindak berdasarkan
perundang-undangan juga diberi kewenangan bertindak berdasarkan freies
Ermessen (discretionair), yaitu kebebasan bertindak atas inisiatif sendiri
guna menyelesaikan persoalan persoalan penting dan mendesak yang pengaturannya
belum ada, dan tindakan tersebut harus dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini
juga sebagai konsekuensi logis dianutnya konsepsi welvaarestaat, dimana
pemerintah dalam melaksanakan kewenangannya tidak saja berdasarkan peraturan
perundang-undangan tetapi juga didasarkan inisiatif sendiri melalui Freies
Ermessen.
Pelaksanaan Freies Ermessen pada
akhirnya dapat membuka peluang terjadinya benturan kepentingan antara
pemerintah dengan warga negara, baik dalam bentuk onrechtmatige
overheidsdaad (perbuatan penguasa yang melanggar hukum), detournement de
pouvoir (penyalahgunaan wewenang), maupun dalam bentuk willeakuer (berbuat
sewenang-wenang), yang mengakibatkan terampasnya hak asasi warga negara. Hal
ini sejalan dengan pendapat Saut P. Panjaitan, yang mengatakan bahwa adanya Freies
Emerssen bukanlah tidak menimbulkan masalah, karena kemungkinan terjadinya
pelanggaran terhadap hak warga negara menjadi semakin besar.
Salah satu tindakan pemerintah yang
sering berbenturan dengan kepentingan rakyat adalah dalam lapangan perpajakan. Pemungutan
pajak oleh pemerintah akan bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat.
Pelaksanaan pemungutan pajak ditengah masyarakat yang tidak sesuai dengan
undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat wajib
pajak, sehingga dapat menimbulkan sengketa pajak antara wajib pajak dengan
pejabat atau aparatur pajak (fiskus). Oleh sebab itu untuk lebih memberikan
pelayanan dan perlindungan kepada warga masyarakat sebagai pembayar pajak, maka
diperlukan adanya suatu lembaga peradilan di bidang perpajakan yang dapat
menjamin hak dan kewajiban pembayar pajak, serta dapat memberikan putusan hukum
dan kepastian hukum atas sengketa pajak dengan proses yang sederhana, cepat,
dan murah, sesuai dengan asas yang dianut dalam sistem peradilan di Indonesia.
Perlunya suatu lembaga peradilan
dalam penyelesaian sengketa pajak merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983, yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam Pasal 27 ayat (1)
Undang-Undang KUP disebutkan bahwa, “Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding
hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya
yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak”.
Karakteristik sengketa pajak,
merupakan sengketa dalam lingkup Hukum Administrasi Negara (Hukum Tata Usaha
Negara). Pendapat ini didasarkan atas ruang lingkup hukum pajak yang masuk
dalam lingkup hukum publik. Bahkan menurut Brotodihardjo, hukum pajak merupakan
anak bagian dari administrasi. Dengan demikian sengketa pajak identik dengan
sengketa administrasi (sengketa Tata Usaha Negara).
Selanjutnya, Penyelesaian sengketa pajak
mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan penyelesaian sengketa
dalam sistem peradilan pada umumnya. Hal yang membedakan penyelesaian sengketa
pajak dengan penyelesaian sengketa pada umumnya adalah pertama: mengenai
prosedur, dalam penyelesaian sengeta pajak ada ketentuan yang menyatakan bahwa,
pengajuan keberatan, banding dan gugatan tidak menunda kewajiban pembayaran pajak dan
pelaksanaan penagihan pajak. Undang-undang tidak memberi penjelasan secara
jelas, dasar jumlah pajak yang harus dibayar apakah sesuai dengan SPT atau SKP.
Tidak adanya pengaturan yang jelas mengenai ketentuan tersebut, oleh fiskus
ditafsirkan sebagai keharusan wajib pajak untuk melunasi seluruh hutang
pajaknya sesuai dengan jumlah yang tertuang dalam SKP. Apabila dilihat dari
kepentingan wajib pajak, penafsiran tersebut dianggap kurang memberi rasa
keadilan bagi wajib pajak, karena jumlah hutang pajak yang tertuang dalam SKP
justru merupakan obyek yang disengketakan. Hal ini juga tidak konsisten dengan
asas self assessment yang dianut. Syarat ini dirasa sangat memberatkan wajib
pajak dan tidak sesuai dengan syarat yang harus dipenuhi peradilan pada
umumnya, bahwa peradilan harus dilakukan dengan biaya murah.
Indikator tidak konsistennya
Pengadilan Pajak menerapkan asas tersebut, khususnya asas biaya ringan juga
dapat dilihat dari persyaratan keharusan membayar 50% (limapuluh persen) dari
jumlah pajak terutang. Adanya keharusan membayar 50% (limapuluh persen) dari
jumlah pajak yang terutang. Persyaratan keharusan membayar 50% (limapuluh
persen) dari jumlah pajak terutang dari Wajib Pajak, sebelum mengajukan
permohonan banding, telah melanggar asas praduga tak bersalah. Tujuan Wajib
Pajak mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak pada hakikatnya karena
menolak penetapan pajak dari fiskus dan menolak keputusan keberatan yang
diajukan DirJend Pajak. Oleh Wajib Pajak, DirJend Pajak dianggap telah bersalah
dan melanggar ketentuan hukum yang berlaku dalam mengambil keputusan dan
menentukan jumlah pajak terutang, oleh karenanya Wajib Pajak memohon agar
pengadilan mengeluarkan putusan agar membatalkan keputusan dari DirJend Pajak
dimaksud. Namun dengan adanya ketentuan keharusan membayar terlebih dahulu 50%
(setengah) dari kewajiban Wajib Pajak, berarti Wajib Pajak dianggap telah
bersalah. Secara a contrarium DirJend Pajak dianggap telah benar dan
tidak melanggar ketentuan hukum dalam mengambil keputusan menentukan jumlah
pajak terutang. Ketentuan ini pun telah melanggar asas keadilan dan HAM karena
hak Wajib Pajak untuk memperoleh keadilan melalui institusi Pengadilan Pajak
telah di kebiri dengan adanya kewajiban melaksanakan terlebih dahulu keputusan
tersebut, walaupun hanya sebagian. Padahal keputusan tersebut belum atau akan
diuji kebenarannya oleh hakim di pengadilan, artinya ada kemungkinan keputusan
tersebut bertentangan dengan peraturan hukum dan harus dibatalkan.Selain wajib
pajak dikenai sanksi 50% dan apabila wajib pajak ingin melanjutkan
mencari upaya hukum lanjutan yaitu banding dan dalam putusan banding wajib
pajak diputus kalah maka wajib pajak dikenai sanksi sebesar 100%. Disisi lain ketika fiskus yang dinyatakan kalah
dalam keberatan maupun banding, fiskus hanya dikenai sanksi pembayaran bunga 2
% sebulan. Berdasarkan hal tersebut terlihat ada ketidakseimbangan aturan
antara wajib pajak dengan fiskus.Disamping itu adanya sanksi denda pembayaran
50% dan 100% jika wajib pajak kalah dalam keberatan dan banding lebih dirasa
sebagai suatu ancaman bagi wajib pajak dalam mencari upaya hukum dalam
penyelesaian sengketa pajak. Adanya sanksi yang tinggi tentunya akan menambah
rasa pesimistis wajib pajak apabila dikaitkan dengan kurang percaya dirinya wajib pajak dengan kemampuan menghitung kewajiban
perpajakannya mengingat cara perhitungan pajak yang cenderung rumit.Padahal
pada dasarnya dalam suatu sengketa tidak selamanya perhitungan wajib pajaklah
yang salah.
Hal lain yang dapat kita amati
dalam penyelesaian melalui upaya administrative adalah “keberatan”. Sebagai
suatu lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa, upaya administratif
mempunyai satu kelemahan, kelemahan ini berkaitan dengan keobyektifan lembaga
tersebut. Penyelesaian sengketa pajak oleh lembaga keberatan, keobyektifannya
memang patut diragukan karena yang memberi putusan adalah salah satu pihak yang
bersengketa. Kekhawatiran terhadap keobyektifan lembaga keberatan sangat
beralasan, manakala dikaitkan dengan asas, “ Tidak seorangpun dapat menjadi
hakim yang baik untuk dirinya sendiri” ( Nemo judex indoneus in propia causa
).
Selain permasalahan di dalam bidang
administrative, permasalahan juga terjadi dalam lingkup “yudisial”, yaitu mengenai kewajiban Hakim untuk menghadirkan pihak terbanding atau
tergugat dalam pemeriksaan dipersidangan. Berdasarkan Pasal 46 Undang-Undang
Pengadilan Pajak disebutkan “bahwa pemohon banding atau penggugat dapat memberitahukan
kepada Ketua untuk hadir dalam persiapan untuk memberikan keterangan lisan”.
Kata-kata “dapat” mengandung arti bahwa tidak ada kewajiban hakim untuk menghadirkannya
dipersidangan, dengan demikian pemohon banding atau penggugat tidak mutlak
mempunyai hak untuk hadir dipersidangan, karena dengan kata-kata dapat tersebut
keputusan untuk bisa hadir atau tidak pemohon banding atau penggugat
dipersidangan ditentukan oleh Hakim, berdasarkan perlu atau tidaknya pemohon
banding atau penggugat dimintakan keterangannya dipersidangan. Hal ini berarti
telah melanggar hak Wajib Pajak selaku pemohon banding atau penggugat untuk
membela kepentingannya semaksimal mungkin dengan menyampaikan pendapatnya
secara lisan di persidangan.
Dalam penyelesaian sengketa yang mengenal upaya
administratif,apabila seluruh upaya administratif yang ditawarkan sudah
ditempuh tetapi masih belum puas dengan putusan tersebut maka dapat mencari
upaya hukum lanjutan ke Pengadilan Tingi Tata Usaha Negara (Pasal 48 ayat ( 2 )
Jo. Pasal 53 ayat ( 3 ) UU No. 5 tahun 1986 Jo.UU No.9 tahun 2004 tentang PTUN
). Demikian juga apabila kita terapkan pada penyelesaian sengketa pajak,
apabila wajib pajak tidak puas atas putusan keberatan maka dapat mengajukan
upaya hukum lanjutan ke Pengadilan Tinggi Pajak. Tetapi berhubung Pengadilan Pajak
tidak ada Pengadilan Tingginya maka upaya hukum lanjutan dari upaya
administratif pajak adalah banding ke Pengadilan Pajak.
Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Pajak.
Apabila kita kaitkan dengan sistem peradilan secara umum penyelesaian sengketa
melalui Pengadilan Pajak memang masih belum sesuai dengan sistem peradilan yang
ada.Dalam Penyelesaian sengketa pajak tidak mengenal upaya hukum kasasi
sebagaimana yang upaya disediakan oleh peradilan pada umumnya. Sebagaimana kita
ketahui upaya hukum kasasi adalah upaya hukum tertinggi bagi pencari keadilan
yang berpuncak di Mahkamah Agung.Dengan tidak ditawarkanya upaya hukum kasasi
dalam penyelesaian sengketa pajak berarti terjadi adanya pemangkasan satu
tingkatan saluran peradilan. Hal ini tentunya menyimpang dari ketentuan
peradilan secara umum sebagaimana yang diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman (
Pasal 22 UU No.4 tahun 2004). Pengadilan Pajak yang hanya ada satu, apabila
kita kaitkan dengan peradilan secara umum juga tidak sesuai, dimana dalam pengadilan
secara umum mengenal adanya Pengadilan Tingkat I yang berkedudukan di setiap
Kabupaten dan Pengadilan Tingkat II yang berkedudukan di ibukota Propinsi.
Sedangkan dalam Pengadilan Pajak, Pengadilan Pajak hanya berjumlah satu di
Indonesia yaitu yang berkedudukan di Ibu Kota Negara. Hal demikian tentunya
dapat mengurangi pemberian perlindungan hukum terhadap wajib pajak karena dapat
menyulitkan wajib pajak dalam mencari keadilan pada lembaga ini, disamping itu
juga dapat menurunkan hasarat wajib pajak untuk mencari upaya hukum sampai ke
Pengadilan mengingat faktor pertimbangan biaya, kerugian waktu dan sebagainya.
Dosen pajak saya pernah mengatakan,
bahwasanya “UU” adalah bapaknya peraturan. Kita sudah melihat, bahwa
adanya ketentuan-ketentuan yang bersifat spesifik dalam peraturan perpajakan
khususnya dalam penyelesaian sengketa pajak dimaksudkan untuk mengoptimalkan
penerimaan negara dari sektor pajak, tetapi apabila dilihat dari kepentingan
wajib pajak ketentuan tersebut kurang memberi keadilan bagi wajib pajak. Pajak
agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik, maka perlu didukung dengan
undang-undang yang baik pula. Undang-undang yang baik menurut Hofstra, adalah
undang-undang yang tidak hanya berorientasi pada aspek makro yaitu aspek yang
hanya berorientasi pada tuntutan ekonomi, tetapi juga harus memenuhi syarat
yang paling esensiil yaitu syarat mikro bahwa undang-undang pajak hendaknya
memenuhi rasa keadilan. Salah satu bentuk keadilan yang dapat diberikan adalah
dengan menjamin keseimbangan hak dan kewajiban antara fiskus dan wajib pajak.
Membayar pajak adalah kewajiban yang harus dipenuhi wajib pajak, memungut pajak
adalah wewenang yang dipunyai negara. Memungut pajak meskipun merupakan
wewenang yang dipunyai negara, tetapi dalam pemungutannya jangan terlalu
memberatkan masyarakat. Dalam rangka memberi perlindungan hukum kepada wajib
pajak syarat keadilan ( keseimbangan hak dan kewajiban antara fiskus dan wajib
pajak) juga harus terpenuhi dalam ketentuan yang mengatur penyelesaian sengketa
pajak. Ketentuan yang mengatur penyelesaian sengketa pajak hendaknya jangan
hanya memihak kepentingan fiskus dalam memasukkan pajak ke kas negara tetapi
juga harus memperhatikan kepentingan wajib pajak, yaitu memberi kemudahan pada
wajib pajak untuk membela haknya, khususnya dalam penyelesaian sengketa pajak.
Terlepas dari semua itu, semoga
keadilan dan kebenaran yang telah diketahui menjadi anak panah yang melesat
cepat dari busurnya dan menghujam tepat pada jantung persoalan hukum di tanah
air. Oleh karenanya, kita semua tentu berharap bahwa bangsa Indonesia tidak
saja bercermin pada kebenaran yang berkembang dalam theory koherensi Plato, dan
teori keadilan dalam konsep pemikiran Aristoteles, tetapi juga dapat memenuhi
kebutuhan hukum secara praktis seperti yang dicita-citakan Charles Pierce dengan teorinya yang terkenal,
yaitu theory pragmatis. Sudah tentu kita ketahui, kebenaran (dalam artian luas)
dan keadilan sebagai dua keutamaan yang tidak bisa dikomparasikan karena tidak
ada skala pembanding. Adil, dan benar. Keduanya harus sejajar dalam konsep
hukum, keduanya berkesinambungan erat dalam konstelasi politik dan hukum suatu
Negara. Tak terlepas dari pembahasan, Hukum Pajak tanah air.
Dari pembahasan di atas, tentu
timbul pertanyaan dalam benak, “Apakah hukum di dalam produk UU saat ini masih
relevan dengan keadaan masyarakat Indonesia, atau perlu kita langkahi UU demi
rasa keadilan masyarakat?”
Lalu, bukankah pada prinsipnya UU
harus terus bergerak bersama dinamika
kebutuhan masyarakat? Contoh UU Pajak tentu dibuat saat pajak menjadi sector utama
masukan untuk kas Negara. Sedangkan kasus diatas, jika tak ada pasal yang cocok
tepat kena dengan masalah yang sedang dihadapi, maka hakim harus mengadili
berdasarkan perasaan “KEADILAN” yang ia maknai dari tumbuh kembangnya
masyarakat. Bunyi kontekstual adalah keadilan, namun anjuran bagi hakim untuk
menggali perasaan keadilan yang kemudian dimaktubkan sebagai hukum tertulis
dalam vonis putusan atau Jurisprudensi telah diatur terlebih dahulu dalam kitab UU
kehakiman dan itu adalah kebenaran Ontologikal (ada tidaknya pasal yang
memperbolehkan hakim menggali rasa keadilan untuk memutus perkara itu).
Seperti itulah letak focus
“kebenaran” dan “keadilan” dalam konsep hukum. Sekali lagi, harus sejajar.
Berbagai eksistensi gagasan baik dari ranah hukum, keadilan maupun kebenaran
telah memberikan setidaknya sebuah loncatan intelektual sebuah peradaban.
Sehingga kedepan, diharap pemerintah mempunyai political will yang nyata,
pemberdayaan tidak hanya sekadar retorika, ataupun lips service. Untuk kedepan,
menyikapi masalah yang serupa, warga Negara, juga pemerintah menjadi lebih inklusif dalam diskursus yang bermartabat.
Inilah letak keberhasilan ilmiah yang sesugguhnya. Meskipun dalam prinsip
akademisi yang menjadi ujung tombak setiap warga belajar masih ingin terus
berontak bersahut-sahutan, untuk memukul kata, membanting bahasa, namun jauh
diatas itu semua kita hanya bisa berkaca
kembali bahwa ini bukanlah jalan tepat seperti operation research
akademis. Namun, cubitan-cubitan teori dalam ranah hukum, asumsi dan postulat
pakar hukum semakin mewarnai perpustakaan akal negeri ini. Tak terlepas dari
semua alasan kebenaran atau keadilan hukum di negeri ini, sebenarnya kita masih
terikat dalam rasionalisme yang disabdakan Boethius, “An Individual Substance
of a Rational”.
Oleh : Hafif Yusuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar