Rabu, 23 April 2014

UPAYA HUKUM PAJAK INDONESIA, “Menyentuh yang ada dan nyata kah”?



Hukum pajak Indonesia, bagaimana menurut Anda? Dalam pemikiran masyarakat, tentu “Hukum tak boleh diberlakukan secara kaku”, tujuan hukum adalah menciptakan keadilan, bukan keadilan yang menciptakan hukum. Hukum terasa adil bila menyentuh objek secara kasuistis. Itu alasannya setiap kasus pidana, dan lain-lain diperiksa secara terpisah dan tak pernah diputus secara massal meskipun objek sengketanya adalah sama.
Terlepas dari semua itu, kebenaran tentu sebagai factor utama disamping keadilan. Sebab hukum yang adil adalah hukum yang disusun, dilaksanakan, dievaluasi, diperiksa, dan diputus secara “benar” menurut etika hukum yang telah disepakati bersama. Lalu, kebenaran yang seperti apa untuk dianut dalam memberikan pencerahan dalam kekalaman hukum di Indonesia?
I.            Kebenaran factual atau kebenaran berdasar pengalaman riil (tertuang dalam pasal UU, yaitu saksi, adalah orang yang melihat, mendengar dan atau mengalami sendiri sebuah peristiwa yang dimintakan keterangan kepadanya)
II.         Kebenaran epistemology, adalah kebenaran berdasar ilmu pengetahuan (logika telah termasuk di dalamnya)
III.      Kebenaran semantic, atau kebenaran bahasa (terurai secara gramatikal perundangan, tak boleh ditafsir selain pelaksana hukum yang diperbolehkan UU, “misal Hakim yang memiliki hak veto menganalisa perkara”) dan dialektika  pembahasan hukum yang tertuang dalam kode etik dan prinsip kerja aparatur Negara.
Seperti itulah diskursus makna kebenaran dalam hukum, ameliorasi dalam makna kebenaran yang harus terbatas sehingga tidak menimbulkan multi tafsir yang ambigu. Adil yang merupakan perasaan hukum, dan juga kebenaran  yang mampu mengikat jiwa hukum. Harus sejajar. Mengapa? Sebab keduanya mampu dirasiokan kembali dalam factual ontological, epistemological, dan semantikal. Adil, dan benar, keduanya adalah fairness yang dielaborasi oleh teori keadilan Rawls.

Selanjutnya, bagaimana konsep penerapan Hukum Pajak di Indonesia? Sudah adilkah? Sudah benarkah? Sehingga sama bentuknya dengan pemahaman filsafat, “menyentuh yang ada dan nyata”. Sehingga, keadilan secara tepat tanpa kurang satu gram jika ditimbang di neraca hukum?
Dalam teori demokrasi delibertif menyatakan, bahwa penyusunan suatu hukum atau peraturan yang demokratis menjamin semua kepentingan masyarakat, bila dalam penyusunannya membuka  akses dan membuka komunikasi dengan semua masyarakat. Teori ini digunakan untuk menganalisis permasalahan yang berkaitan dengan materi perundang-undangan perpajakan khususnya yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa pajak. Pajak meskipun dijadikan sebagai sumber penerimaan utama negara tetapi dalam pemungutannya tidak boleh sewenang-wenang dan mengorbankan kepentingan yang lain.
Suatu hukum atau peraturan perundangan yang baik adalah adil dan benar, berkaitan dengan hal ini peraturan yang mendasari pemungutan pajak hendaknya harus sesuai dengan syarat-syarat keadilan.Keadilan dalam kebijakan perpajakan dapat dilihat dari : pertama, keadilan dalam hubungan antara pemerintah dan wajib pajak, kedua, keadilan dari alokasi beban pajak pada berbagai golongan masyarakat.
Berdasarkan teori Kedaulatan Hukum dari Krabbe dalam bukunya “Die Lehre der Rechtssouveranitat”, pada intinya teori ini berpendapat bahwa ditaatinya hukum bukan karena negara menghendakinya tetapi karena merupakan perumusan kesadaran. Sanksi bukanlah satu-satunya cara untuk menciptakan agar suatu peraturan dapat ditaati, tetapi bagaimana menumbuhkan kesadaran hukum merupakan hal yang sangat penting.
Indonesia sebagai Negara hukum modern yang menganut konsepsi Negara kesejahteraan (welvaarstaat), mempunyai tujuan menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera dengan adanya jaminan perlindungan hukum dari pemerintah. Secara historis, konsepsi welvaarstaat ada setelah adanya pergeseran dari konsepsi nachtwakerstaat ke konsepsi welvaarstaat. Pada konsepsi nachtwakerstaat, tugas pokok pemerintah adalah menjamin dan melindungi kedudukan ekonomis dari mereka yang menguasai alat-alat pemerintah serta berfungsi sebagai penjaga ketertiban dan keamanan masyarakat belaka. Sementara pada konsepsi welvarstaat, pemerintah diberi kewajiban untuk mewujudkan kesejahteraan umum (bestuurzorg),
untuk itu kepada pemerintah diberikan kewenangan untuk ikut campur tangan dalam segala lapangan kehidupan masyarakat.

Atas dasar pergeseran tersebut, maka sejak saat itu menimbulkan semakin besarnya campur tangan pemerintah (penguasa) di dalam setiap sektor kehidupan masyarakat, termasuk campur tangan dalam bidang sosial-ekonomi. Sjachran Basah mengkaitkan campur tangan pemerintah ini sebagai bagian dari tugas pemerintah sebagai pelayan masyarakat (public service), yaitu tugas pemerintah tidak semata-mata hanya dibidang pemerintahan saja, melainkan juga melaksanakan kesejahtraan sosial dalam rangka mencapai tujuan negara yang dijalankan melalui pembangunan nasional.

Untuk menjalankan tugasnya sebagai public service, oleh administrator Negara selain bertindak berdasarkan perundang-undangan juga diberi kewenangan bertindak berdasarkan freies Ermessen (discretionair), yaitu kebebasan bertindak atas inisiatif sendiri guna menyelesaikan persoalan persoalan penting dan mendesak yang pengaturannya belum ada, dan tindakan tersebut harus dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini juga sebagai konsekuensi logis dianutnya konsepsi welvaarestaat, dimana pemerintah dalam melaksanakan kewenangannya tidak saja berdasarkan peraturan perundang-undangan tetapi juga didasarkan inisiatif sendiri melalui Freies Ermessen.

Pelaksanaan Freies Ermessen pada akhirnya dapat membuka peluang terjadinya benturan kepentingan antara pemerintah dengan warga negara, baik dalam bentuk onrechtmatige overheidsdaad (perbuatan penguasa yang melanggar hukum), detournement de pouvoir (penyalahgunaan wewenang), maupun dalam bentuk willeakuer (berbuat sewenang-wenang), yang mengakibatkan terampasnya hak asasi warga negara. Hal ini sejalan dengan pendapat Saut P. Panjaitan, yang mengatakan bahwa adanya Freies Emerssen bukanlah tidak menimbulkan masalah, karena kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hak warga negara menjadi semakin besar.

Salah satu tindakan pemerintah yang sering berbenturan dengan kepentingan rakyat adalah dalam lapangan perpajakan. Pemungutan pajak oleh pemerintah akan bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat. Pelaksanaan pemungutan pajak ditengah masyarakat yang tidak sesuai dengan undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat wajib pajak, sehingga dapat menimbulkan sengketa pajak antara wajib pajak dengan pejabat atau aparatur pajak (fiskus). Oleh sebab itu untuk lebih memberikan pelayanan dan perlindungan kepada warga masyarakat sebagai pembayar pajak, maka diperlukan adanya suatu lembaga peradilan di bidang perpajakan yang dapat menjamin hak dan kewajiban pembayar pajak, serta dapat memberikan putusan hukum dan kepastian hukum atas sengketa pajak dengan proses yang sederhana, cepat, dan murah, sesuai dengan asas yang dianut dalam sistem peradilan di Indonesia.

Perlunya suatu lembaga peradilan dalam penyelesaian sengketa pajak merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983, yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang KUP disebutkan bahwa, “Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak”.

Karakteristik sengketa pajak, merupakan sengketa dalam lingkup Hukum Administrasi Negara (Hukum Tata Usaha Negara). Pendapat ini didasarkan atas ruang lingkup hukum pajak yang masuk dalam lingkup hukum publik. Bahkan menurut Brotodihardjo, hukum pajak merupakan anak bagian dari administrasi. Dengan demikian sengketa pajak identik dengan sengketa administrasi (sengketa Tata Usaha Negara).

Selanjutnya, Penyelesaian sengketa pajak mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan penyelesaian sengketa dalam sistem peradilan pada umumnya. Hal yang membedakan penyelesaian sengketa pajak dengan penyelesaian sengketa pada umumnya adalah pertama: mengenai prosedur, dalam penyelesaian sengeta pajak ada ketentuan yang menyatakan bahwa, pengajuan keberatan, banding dan gugatan tidak menunda kewajiban pembayaran pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. Undang-undang tidak memberi penjelasan secara jelas, dasar jumlah pajak yang harus dibayar apakah sesuai dengan SPT atau SKP. Tidak adanya pengaturan yang jelas mengenai ketentuan tersebut, oleh fiskus ditafsirkan sebagai keharusan wajib pajak untuk melunasi seluruh hutang pajaknya sesuai dengan jumlah yang tertuang dalam SKP. Apabila dilihat dari kepentingan wajib pajak, penafsiran tersebut dianggap kurang memberi rasa keadilan bagi wajib pajak, karena jumlah hutang pajak yang tertuang dalam SKP justru merupakan obyek yang disengketakan. Hal ini juga tidak konsisten dengan asas self assessment yang dianut. Syarat ini dirasa sangat memberatkan wajib pajak dan tidak sesuai dengan syarat yang harus dipenuhi peradilan pada umumnya, bahwa peradilan harus dilakukan dengan biaya murah.

Indikator tidak konsistennya Pengadilan Pajak menerapkan asas tersebut, khususnya asas biaya ringan juga dapat dilihat dari persyaratan keharusan membayar 50% (limapuluh persen) dari jumlah pajak terutang. Adanya keharusan membayar 50% (limapuluh persen) dari jumlah pajak yang terutang. Persyaratan keharusan membayar 50% (limapuluh persen) dari jumlah pajak terutang dari Wajib Pajak, sebelum mengajukan permohonan banding, telah melanggar asas praduga tak bersalah. Tujuan Wajib Pajak mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak pada hakikatnya karena menolak penetapan pajak dari fiskus dan menolak keputusan keberatan yang diajukan DirJend Pajak. Oleh Wajib Pajak, DirJend Pajak dianggap telah bersalah dan melanggar ketentuan hukum yang berlaku dalam mengambil keputusan dan menentukan jumlah pajak terutang, oleh karenanya Wajib Pajak memohon agar pengadilan mengeluarkan putusan agar membatalkan keputusan dari DirJend Pajak dimaksud. Namun dengan adanya ketentuan keharusan membayar terlebih dahulu 50% (setengah) dari kewajiban Wajib Pajak, berarti Wajib Pajak dianggap telah bersalah. Secara a contrarium DirJend Pajak dianggap telah benar dan tidak melanggar ketentuan hukum dalam mengambil keputusan menentukan jumlah pajak terutang. Ketentuan ini pun telah melanggar asas keadilan dan HAM karena hak Wajib Pajak untuk memperoleh keadilan melalui institusi Pengadilan Pajak telah di kebiri dengan adanya kewajiban melaksanakan terlebih dahulu keputusan tersebut, walaupun hanya sebagian. Padahal keputusan tersebut belum atau akan diuji kebenarannya oleh hakim di pengadilan, artinya ada kemungkinan keputusan tersebut bertentangan dengan peraturan hukum dan harus dibatalkan.Selain wajib pajak dikenai sanksi 50% dan apabila wajib pajak ingin melanjutkan mencari upaya hukum lanjutan yaitu banding dan dalam putusan banding wajib pajak diputus kalah maka wajib pajak dikenai sanksi sebesar 100%. Disisi lain ketika fiskus yang dinyatakan kalah dalam keberatan maupun banding, fiskus hanya dikenai sanksi pembayaran bunga 2 % sebulan. Berdasarkan hal tersebut terlihat ada ketidakseimbangan aturan antara wajib pajak dengan fiskus.Disamping itu adanya sanksi denda pembayaran 50% dan 100% jika wajib pajak kalah dalam keberatan dan banding lebih dirasa sebagai suatu ancaman bagi wajib pajak dalam mencari upaya hukum dalam penyelesaian sengketa pajak. Adanya sanksi yang tinggi tentunya akan menambah rasa pesimistis wajib pajak apabila dikaitkan dengan kurang percaya dirinya wajib pajak dengan kemampuan menghitung kewajiban perpajakannya mengingat cara perhitungan pajak yang cenderung rumit.Padahal pada dasarnya dalam suatu sengketa tidak selamanya perhitungan wajib pajaklah yang salah.

Hal lain yang dapat kita amati dalam penyelesaian melalui upaya administrative adalah “keberatan”. Sebagai suatu lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa, upaya administratif mempunyai satu kelemahan, kelemahan ini berkaitan dengan keobyektifan lembaga tersebut. Penyelesaian sengketa pajak oleh lembaga keberatan, keobyektifannya memang patut diragukan karena yang memberi putusan adalah salah satu pihak yang bersengketa. Kekhawatiran terhadap keobyektifan lembaga keberatan sangat beralasan, manakala dikaitkan dengan asas, “ Tidak seorangpun dapat menjadi hakim yang baik untuk dirinya sendiri” ( Nemo judex indoneus in propia causa ).

Selain permasalahan di dalam bidang administrative, permasalahan juga terjadi dalam lingkup “yudisial”, yaitu mengenai kewajiban Hakim untuk menghadirkan pihak terbanding atau tergugat dalam pemeriksaan dipersidangan. Berdasarkan Pasal 46 Undang-Undang Pengadilan Pajak disebutkan “bahwa pemohon banding atau penggugat dapat memberitahukan kepada Ketua untuk hadir dalam persiapan untuk memberikan keterangan lisan”. Kata-kata “dapat” mengandung arti bahwa tidak ada kewajiban hakim untuk menghadirkannya dipersidangan, dengan demikian pemohon banding atau penggugat tidak mutlak mempunyai hak untuk hadir dipersidangan, karena dengan kata-kata dapat tersebut keputusan untuk bisa hadir atau tidak pemohon banding atau penggugat dipersidangan ditentukan oleh Hakim, berdasarkan perlu atau tidaknya pemohon banding atau penggugat dimintakan keterangannya dipersidangan. Hal ini berarti telah melanggar hak Wajib Pajak selaku pemohon banding atau penggugat untuk membela kepentingannya semaksimal mungkin dengan menyampaikan pendapatnya secara lisan di persidangan.

Dalam penyelesaian sengketa yang mengenal upaya administratif,apabila seluruh upaya administratif yang ditawarkan sudah ditempuh tetapi masih belum puas dengan putusan tersebut maka dapat mencari upaya hukum lanjutan ke Pengadilan Tingi Tata Usaha Negara (Pasal 48 ayat ( 2 ) Jo. Pasal 53 ayat ( 3 ) UU No. 5 tahun 1986 Jo.UU No.9 tahun 2004 tentang PTUN ). Demikian juga apabila kita terapkan pada penyelesaian sengketa pajak, apabila wajib pajak tidak puas atas putusan keberatan maka dapat mengajukan upaya hukum lanjutan ke Pengadilan Tinggi Pajak. Tetapi berhubung Pengadilan Pajak tidak ada Pengadilan Tingginya maka upaya hukum lanjutan dari upaya administratif pajak adalah banding ke Pengadilan Pajak.

Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Pajak. Apabila kita kaitkan dengan sistem peradilan secara umum penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Pajak memang masih belum sesuai dengan sistem peradilan yang ada.Dalam Penyelesaian sengketa pajak tidak mengenal upaya hukum kasasi sebagaimana yang upaya disediakan oleh peradilan pada umumnya. Sebagaimana kita ketahui upaya hukum kasasi adalah upaya hukum tertinggi bagi pencari keadilan yang berpuncak di Mahkamah Agung.Dengan tidak ditawarkanya upaya hukum kasasi dalam penyelesaian sengketa pajak berarti terjadi adanya pemangkasan satu tingkatan saluran peradilan. Hal ini tentunya menyimpang dari ketentuan peradilan secara umum sebagaimana yang diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman ( Pasal 22 UU No.4 tahun 2004). Pengadilan Pajak yang hanya ada satu, apabila kita kaitkan dengan peradilan secara umum juga tidak sesuai, dimana dalam pengadilan secara umum mengenal adanya Pengadilan Tingkat I yang berkedudukan di setiap Kabupaten dan Pengadilan Tingkat II yang berkedudukan di ibukota Propinsi. Sedangkan dalam Pengadilan Pajak, Pengadilan Pajak hanya berjumlah satu di Indonesia yaitu yang berkedudukan di Ibu Kota Negara. Hal demikian tentunya dapat mengurangi pemberian perlindungan hukum terhadap wajib pajak karena dapat menyulitkan wajib pajak dalam mencari keadilan pada lembaga ini, disamping itu juga dapat menurunkan hasarat wajib pajak untuk mencari upaya hukum sampai ke Pengadilan mengingat faktor pertimbangan biaya, kerugian waktu dan sebagainya.

Dosen pajak saya pernah mengatakan, bahwasanya “UU” adalah bapaknya peraturan. Kita sudah melihat, bahwa adanya ketentuan-ketentuan yang bersifat spesifik dalam peraturan perpajakan khususnya dalam penyelesaian sengketa pajak dimaksudkan untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor pajak, tetapi apabila dilihat dari kepentingan wajib pajak ketentuan tersebut kurang memberi keadilan bagi wajib pajak. Pajak agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik, maka perlu didukung dengan undang-undang yang baik pula. Undang-undang yang baik menurut Hofstra, adalah undang-undang yang tidak hanya berorientasi pada aspek makro yaitu aspek yang hanya berorientasi pada tuntutan ekonomi, tetapi juga harus memenuhi syarat yang paling esensiil yaitu syarat mikro bahwa undang-undang pajak hendaknya memenuhi rasa keadilan. Salah satu bentuk keadilan yang dapat diberikan adalah dengan menjamin keseimbangan hak dan kewajiban antara fiskus dan wajib pajak. Membayar pajak adalah kewajiban yang harus dipenuhi wajib pajak, memungut pajak adalah wewenang yang dipunyai negara. Memungut pajak meskipun merupakan wewenang yang dipunyai negara, tetapi dalam pemungutannya jangan terlalu memberatkan masyarakat. Dalam rangka memberi perlindungan hukum kepada wajib pajak syarat keadilan ( keseimbangan hak dan kewajiban antara fiskus dan wajib pajak) juga harus terpenuhi dalam ketentuan yang mengatur penyelesaian sengketa pajak. Ketentuan yang mengatur penyelesaian sengketa pajak hendaknya jangan hanya memihak kepentingan fiskus dalam memasukkan pajak ke kas negara tetapi juga harus memperhatikan kepentingan wajib pajak, yaitu memberi kemudahan pada wajib pajak untuk membela haknya, khususnya dalam penyelesaian sengketa pajak.

Terlepas dari semua itu, semoga keadilan dan kebenaran yang telah diketahui menjadi anak panah yang melesat cepat dari busurnya dan menghujam tepat pada jantung persoalan hukum di tanah air. Oleh karenanya, kita semua tentu berharap bahwa bangsa Indonesia tidak saja bercermin pada kebenaran yang berkembang dalam theory koherensi Plato, dan teori keadilan dalam konsep pemikiran Aristoteles, tetapi juga dapat memenuhi kebutuhan hukum secara praktis seperti yang dicita-citakan  Charles Pierce dengan teorinya yang terkenal, yaitu theory pragmatis. Sudah tentu kita ketahui, kebenaran (dalam artian luas) dan keadilan sebagai dua keutamaan yang tidak bisa dikomparasikan karena tidak ada skala pembanding. Adil, dan benar. Keduanya harus sejajar dalam konsep hukum, keduanya berkesinambungan erat dalam konstelasi politik dan hukum suatu Negara. Tak terlepas dari pembahasan, Hukum Pajak tanah air.

Dari pembahasan di atas, tentu timbul pertanyaan dalam benak, “Apakah hukum di dalam produk UU saat ini masih relevan dengan keadaan masyarakat Indonesia, atau perlu kita langkahi UU demi rasa keadilan masyarakat?”
Lalu, bukankah pada prinsipnya UU harus terus bergerak  bersama dinamika kebutuhan masyarakat? Contoh UU Pajak tentu dibuat saat pajak menjadi sector utama masukan untuk kas Negara. Sedangkan kasus diatas, jika tak ada pasal yang cocok tepat kena dengan masalah yang sedang dihadapi, maka hakim harus mengadili berdasarkan perasaan “KEADILAN” yang ia maknai dari tumbuh kembangnya masyarakat. Bunyi kontekstual adalah keadilan, namun anjuran bagi hakim untuk menggali perasaan keadilan yang kemudian dimaktubkan sebagai hukum tertulis dalam vonis putusan atau Jurisprudensi  telah diatur terlebih dahulu dalam kitab UU kehakiman dan itu adalah kebenaran Ontologikal (ada tidaknya pasal yang memperbolehkan hakim menggali rasa keadilan untuk memutus perkara itu).

Seperti itulah letak focus “kebenaran” dan “keadilan” dalam konsep hukum. Sekali lagi, harus sejajar. Berbagai eksistensi gagasan baik dari ranah hukum, keadilan maupun kebenaran telah memberikan setidaknya sebuah loncatan intelektual sebuah peradaban. Sehingga kedepan, diharap pemerintah mempunyai political will yang nyata, pemberdayaan tidak hanya sekadar retorika, ataupun lips service. Untuk kedepan, menyikapi masalah yang serupa, warga Negara, juga pemerintah menjadi lebih  inklusif dalam diskursus yang bermartabat. Inilah letak keberhasilan ilmiah yang sesugguhnya. Meskipun dalam prinsip akademisi yang menjadi ujung tombak setiap warga belajar masih ingin terus berontak bersahut-sahutan, untuk memukul kata, membanting bahasa, namun jauh diatas itu semua kita hanya bisa berkaca  kembali bahwa ini bukanlah jalan tepat seperti operation research akademis. Namun, cubitan-cubitan teori dalam ranah hukum, asumsi dan postulat pakar hukum semakin mewarnai perpustakaan akal negeri ini. Tak terlepas dari semua alasan kebenaran atau keadilan hukum di negeri ini, sebenarnya kita masih terikat dalam rasionalisme yang disabdakan Boethius, “An Individual Substance of a Rational”.

Oleh : Hafif Yusuf

Kamis, 17 April 2014

ATURAN PAJAK TERBARU PPN 2014 PMK OMSET PENJUALAN KENA PAJAK



Aturan Pajak Terbaru PPN 2014 PMK Omset Penjualan Kena Pajak. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menaikkan batasan Pajak Pertambahan Nilai PPN 2014 bagi pengusaha dengan omzet penjualan dari Rp 600 juta menjadi Rp 4,8 miliar. Perubahan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 197 yang ditetapkan pada 20 Desember 2013 dan mulai efektif pada 1 Januari 2014.

“PMK ini diterbitkan untuk mendorong Wajib Pajak dengan omzet tidak melebihi Rp 4,8 miliar setahun lebih banyak berpartisipasi menggunakan Skema Pajak Penghasilan (PPh) Final,” ujar Kepala Seksi Hubungan Eksternal Ditjen Pajak, Chandra Budi, dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 3 Januari 2014.

Skema PPh final yang dimaksud Chandra adalah yang mengacu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 yang telah berjalan sejak Juli 2013 lalu. Dengan aturan terbaru yang berlaku di awal tahun 2014 tersebut, pemerintah berharap lebih banyak wajib pajak yang ikut serta karena tidak lagi khawatir dengan efek perpajakan PPN-nya.

Sebelumnya, dalam Pasal 3A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai diatur pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). PKP nantinya wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang. “Aturan ini dikecualikan bagi pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan,” tutur Chandra.

Dengan adanya aturan pajak terbaru PPN 2014 PMK ini, artinya pengusaha dengan omzet tidak melebihi Rp 4,8 miliar setahun akan memilih menjadi Non-PKP. Walhasil, para pengusaha tersebut tidak perlu menjalankan kewajiban perpajakan yang melekat.

Mereka juga tidak diwajibkan membuat faktur pajak dan tidak perlu lagi melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN. Dengan begitu, Ditjen Pajak berharap biaya kepatuhan perpajakan (cost of compliance) menjadi lebih rendah.

Secara umum, dengan adanya aturan ini akan memudahkan Wajib Pajak untuk menjalankan kewajiban perpajakannya. Sehingga, dengan adanya kemudahan ini ditambah kemudahan lain yang telah ada, maka Wajib Pajak akan menjadi lebih patuh dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. Peraturan Pajak Terbaru PPN 2014 Isi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 197. Sumber : http://freshinfoterbaru.blogspot.com